PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN PADA TRADISI PELA GANDONG (Studi Kasus Di Desa Ohilahin Kabupaten Buru Maluku)
Kata Kunci:
Pandangan Hukum Islam, Larangan Perkawinan, Tradisi Pela GandongAbstrak
larangan perkawinan dalam tradisi Pela Gandong antara marga Nurlatun dan Lesnusa di Desa Ohilahin, Kabupaten Buru, Maluku. Tradisi ini didasarkan pada sumpah persaudaraan yang diwariskan oleh leluhur dan dianggap sakral, sehingga pelanggaran terhadapnya diyakini akan mendatangkan musibah. Penelitian ini bertujuan untuk memahami penyebab larangan tersebut, pelaksanaan hukum adat terhadap pelanggar, serta menelaah pandangan hukum Islam terhadap larangan tersebut. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif-empiris. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) larangan perkawinan didasarkan pada sumpah damai akibat sejarah konflik antarmarga; (2) pelanggaran terhadap adat Pela Gandong diselesaikan melalui musyawarah adat dan pemberian sanksi sosial; dan (3) hukum Islam secara prinsip tidak melarang perkawinan antar marga bila tidak ada hubungan mahram, namun menghormati nilai-nilai budaya lokal yang sejalan dengan prinsip persaudaraan dan harmoni sosial.
This study was motivated by the prohibition of marriage in the Pela Gandong tradition between the Nurlatun and Lesnusa clans in Ohilahin Village, Buru Regency, Maluku. This tradition is based on an oath of brotherhood inherited from ancestors and is considered sacred, so that violations of it are believed to bring disaster. This study aims to understand the causes of the prohibition, the implementation of customary law against violators, and examine the views of Islamic law on the prohibition. The study used a qualitative method with a normative-empirical approach. Data were collected through interviews, observations, and documentation. The results of the study indicate that: (1) the prohibition of marriage is based on an oath of peace due to the history of conflict between clans; (2) violations of the Pela Gandong tradition are resolved through customary deliberation and the imposition of social sanctions; and (3) Islamic law in principle does not prohibit inter-clan marriage if there is no mahram relationship, but respects local cultural values that are in line with the principles of brotherhood and social harmony.




