PERAN BUDAYA MASYRAKAT MELAYU DI MASA AKHIR KESULTANAN DENGAN IDENTITAS DAN JUGA RITUAL
Kata Kunci:
Budaya Melayu Jambi, Ritual Adat, Identitas Kolektif, Kesultanan, Resistensi KolonialAbstrak
Penelitian ini mengkaji peran budaya dan ritual masyarakat Melayu Jambi di dalam mempertahankan identitas kolektif juga struktur sosial pada masa kemunduran Kesultanan Jambi (akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Dengan pendekatan studi pustaka, artikel ini menganalisis bagaimana tekanan politik dan ekonomi akibat intervensi kolonial Belanda melemahkan otoritas kesultanan, namun tidak menghapus peran budaya sebagai instrumen ketahanan sosial. Ritual seperti mintak ahi ujan, mandi shafar, tradisi kumau, dan antar tando dianalisis sebagai sarana simbolik yang memperkuat kohesi komunitas, mereproduksi nilai adat, serta menjaga hierarki sosial melalui partisipasi kolektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik budaya tidak hanya berfungsi sebagai warisan spiritual, tapi juga menjadi media resistensi halus terhadap hegemoni kolonial, adaptasi terhadap perubahan politik, dan juga sebagai penjaga stabilitas sosial melalui legitimasi tokoh adat. Simbol-simbol diĀ dalam ritual (seperti tepak, kapur sirih, dan henna bercuri) menjadi sebuah komunikasi antar generasi yang mempertahankan identitas Melayu Jambi sebagai entitas kolektif. Kesimpulannya, budaya dan ritual berperan aktif sebagai sistem dinamis yang menopang keberlangsungan masyarakat di tengah transisi kekuasaan, menggantikan otoritas formal kesultanan yang melemah. Temuan ini memperkuat argumen bahwa budaya bukan sekadar ekspresi tradisional, melainkan kekuatan strategis dalam menghadapi disrupsi struktural.
This study examines the role of culture and rituals of the Jambi Malay community in maintaining collective identity and social structure during the decline of the Jambi Sultanate (late 19th to early 20th centuries). Using a literature study approach, this article analyzes how political and economic pressures due to Dutch colonial intervention weakened the authority of the sultanate, but did not eliminate the role of culture as an instrument of social resilience. Rituals such as mintak ahi ujan, mandi shafar, kumau tradition, and antar tando are analyzed as symbolic means that strengthen community cohesion, reproduce customary values, and maintain social hierarchy through collective participation. The results of the study show that cultural practices not only function as spiritual heritage, but also as a medium of subtle resistance to colonial hegemony, adaptation to political change, and also as a guardian of social stability through the legitimacy of customary figures. Symbols in rituals (such as tepak, kapur sirih, and henna bercuri) become intergenerational communication that maintains the identity of the Jambi Malay as a collective entity. In conclusion, culture and ritual play an active role as a dynamic system that supports the sustainability of society in the midst of the transition of power, replacing the weakening formal authority of the sultanate. This finding strengthens the argument that culture is not merely a traditional expression, but a strategic force in facing structural disruption.