LERA WULAN TANAH EKAN SEBAGAI WUJUD TERTINGGI BAGI MASYARAKAT LAMAHOLOT DAN PERBANDINGANNYA DENGAN ALLAH DALAM GEREJA KATOLIK
Kata Kunci:
Lera Wulan Tanah Ekan, Allah Trinitas, InkulturasiAbstrak
Tulisan ini mengkaji konsep ketuhanan dalam budaya Lamaholot yang diwujudkan dalam figur Lera Wulan Tanah Ekan sebagai wujud tertinggi, serta membandingkannya dengan pemahaman tentang Allah dalam ajaran Gereja Katolik. Lera Wulan Tanah Ekan dipandang sebagai pencipta dan pemberi kehidupan yang hadir melalui simbol-simbol kosmis dan alam, serta memiliki peran sentral dalam tatanan sosial dan ritus adat masyarakat Lamaholot. Sementara itu, Allah dalam iman Katolik dikenal sebagai Trinitas yang menciptakan, menyelamatkan, dan menyertai umat manusia secara personal dan historis dalam peristiwa keselamatan yang memuncak dalam pribadi Yesus Kristus. Melalui pendekatan komparatif-teologis, tulisan ini menunjukkan bahwa meskipun berasal dari sistem keyakinan yang berbeda, keduanya memiliki nilai spiritual yang sama, yakni sebagai dasar moral, sumber hidup, dan penuntun eksistensi umatnya. Perbandingan ini juga membuka ruang untuk dialog lintas budaya dan inkulturasi iman dalam konteks lokal, di mana ajaran Kristiani dapat dipahami dan dihayati secara lebih mendalam melalui simbol-simbol dan nilai-nilai budaya setempat. Dengan demikian, tulisan ini berkontribusi pada upaya membangun teologi kontekstual yang menghargai kearifan lokal sekaligus memperkaya pemahaman iman yang universal.
This paper examines the concept of divinity in Lamaholot culture, manifested in the figure of Lera Wulan Tanah Ekan as the supreme being, and compares it with the understanding of God in Catholic theology. Lera Wulan Tanah Ekan is regarded as the creator and giver of life, who is present through cosmic and natural symbols and plays a central role in the social structure and traditional rites of the Lamaholot people. Meanwhile, God in the Catholic faith is known as the Trinity—who creates, redeems, and accompanies humanity in a personal and historical way, culminating in the person of Jesus Christ. Through a comparative-theological approach, this study reveals that although these beliefs stem from different religious systems, both share a common spiritual value: serving as a moral foundation, a source of life, and a guide for their people’s existence. This comparison also opens up possibilities for intercultural dialogue and faith inculturation in the local context, where Christian teachings can be better understood and lived through local symbols and cultural values. Thus, this paper contributes to the development of a contextual theology that respects indigenous wisdom while enriching the understanding of universal faith.