PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS : TINJAUAN TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL DI DESA MUARA BADAK ILIR KECAMATAN MUARA BADAK
Kata Kunci:
Persepsi, Uang Panai, Suku Bugis, Perubahan Sosial, Desa Muara Badak IlirAbstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap Uang Panai dalam pernikahan Suku Bugis di Kecamatan Muara Badak serta Untuk mendeskripsikan dampak Uang Panai dalam Tatanan Sosial masyarakat di Kecamatan Muara Badak Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan dilakukan di desa Muara Badak Ilir Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara pada bulan Februari 2025-Maret 2025. Subjek Penelitian ini adalah masyarakat yaitu kepala desa yang bersuku Bugis, masyarakat suku Bugis, masyarakat suku Banjar, masyarakat suku Jawa dan masyarakat suku Kutai. Kepala Desa dengan menggunakan Teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan menyimpulkan data. Penelitian ini mengkaji Persepsi Masyarakat terhadap Uang Panai dalam Pernikahan Suku Bugis : Tinjauan Terhadap Perubahan Sosial di Desa Muara Badak Ilir. Hasil penelitian menunjukan persepsi mengenai Uang panai yaitu merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi pihak laki-laki sebelum melangsungkan pesta pernikahan, hal ini diartikan suatu pemberian berupa sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan, faktor yang mempengaruhi tingginya permintaan uang panai diantaranya, status sosial perempuan misalnya keluarga bangsawan, tingkat pendidikan, status ekonomi, kondisi fisik perempuan, dan pekerjaan, Tradisi uang Panai yang berasal dari budaya Bugis di Sulawesi Selatan sedikit mengalami perubahan dalam konteks sosial dan ekonomi, terutama di wilayah Desa Muara Badak Ilir yaitu : (1) Perubahan Makna Uang Panai Awalnya uang panai merupakan simbol dan penghargaan terhadap perempuan serta keluarga pihak perempuan. Namun seiring waktu, makna ini bergeser menjadi lebih materialistis. Uang panai kini sering bergeser menjadi tolok ukur status sosial dan gengsi, dengan nominal yang ditentukan berdasarkan faktor pendidikan, keturunan, dam kekayaan mempelai perempuan (2) Di Kalimantan Timur, khususnya di daerah dengan populasi Bugis-Bone-Makassar seperti desa Muara Badak tradisi uang Panai tetap di pertahankan. Namun, permintaan uang panai yang tinggi sering kali menjadi hambatan dalam pernikahan, menyebabkan penundaan atau bahkan pembatalan nikah.
This study aims to determine the public perception of Panai Money in Bugis Tribe weddings in Muara Badak District and to describe the impact of Panai Money on the Social Order of the community in Muara Badak District. The type of research used is descriptive qualitative. This research was conducted in Muara Badak Ilir Village, Muara Badak District, Kutai Kartanegara Regency in February 2025-March 2025. The subjects of this research were the community, namely the village head who was of Bugis ethnicity, the Bugis ethnic community, the Banjar ethnic community, the Javanese ethnic community and the Kutai ethnic community. The Village Head used observation, interview and documentation techniques. Data analysis techniques are data collection, data reduction, data presentation, and data conclusion. This study examines the Public Perception of Panai Money in Bugis Tribe Marriages: A Review of Social Change in Muara Badak Ilir Village. The results of the study show that the perception of Panai Money is something that must be fulfilled by the groom before holding a wedding party, this is interpreted as a gift in the form of a sum of money to the prospective bride, factors that influence the high demand for Panai Money include, the social status of women such as noble families, education level, economic status, physical condition of women, and work, The Panai Money tradition originating from Bugis culture in South Sulawesi has undergone slight changes in the social and economic context, especially in the Muara Badak Ilir Village area, namely: (1) Changes in the Meaning of Panai Money Initially, Panai Money was a symbol and appreciation for women and the woman's family. However, over time, this meaning has shifted to become more materialistic. The dowry money has now often shifted to become a measure of social status and prestige, with the nominal amount determined based on the education, descent, and wealth factors of the bride (2) In East Kalimantan, especially in areas with Bugis- Bone-Makassar populations such as Muara Badak village, the dowry money tradition is still maintained. However, the high demand for dowry money often becomes an obstacle in marriage, causing delays or even cancellation of the marriage.