DAMPAK KEBIJAKAN PERANG DAGANG TERHADAP STABILITAS EKONOMI GLOBAL: STUDI KASUS TARIF AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK
Kata Kunci:
Perang Dagang, Pajak Impor, Stabilitas Ekonomi Global, As-TiongkokAbstrak
Penelitian ini menelaah dampak kebijakan perang dagang antara AS-Tiongkok terhadap stabilitas perekonomian dunia, dengan menitikberatkan pada bea masuk yang berlaku sejak 2018. Menggunakan kerangka kualitatif deskriptif dipadukan studi kasus, data primer dikumpulkan dari dokumen resmi dan publikasi ilmiah, sedangkan data sekunder bersumber dari media cetak dan daring. Temuan menunjukkan bahwa pengenaan bea impor senilai US$ 34 miliar oleh AS atas produk Tiongkok diikuti tindakan balasan setara oleh Beijing telah memperlambat pertumbuhan ekonomi global, mengganggu kegiatan bisnis, dan meningkatkan biaya produksi akibat gangguan rantai pasokan. Negara‐negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami beban yang lebih berat, terlihat dari depresiasi rupiah, fluktuasi tajam indeks saham, dan perubahan pola ekspor komoditas. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Tiongkok merosot ke titik terendah sejak 1992 saat negara tersebut mengalihkan fokus ekspor ke pasar alternatif seperti Jepang. Kesimpulannya, perseteruan tarif antara AS dan Tiongkok memunculkan dinamika perdagangan dan keuangan internasional yang kompleks, sehingga diversifikasi pasar dan penguatan kerja sama multilateral menjadi kunci dalam menjaga kestabilan ekonomi global.
This study examines the impact of the US-China trade war policy on the stability of the world economy, by focusing on the import duties introduced from 2018 onward. Adopting a descriptive qualitative design complemented by case‐study analysis, primary information was gathered from official documents and academic journals, while secondary insights came from print and online media. The findings reveal that the U.S. imposition of a US$ 34 billion tariff on Chinese exports and China’s equivalent reciprocal duties has slowed worldwide economic expansion, disrupted corporate operations, and driven up production costs through supply‐chain interruptions. Developing economies, notably Indonesia, have borne a disproportionate share of these effects, manifesting in rupiah depreciation, sharp swings in stock indices, and altered commodity‐export patterns. Meanwhile, China’s GDP growth fell to its lowest point since 1992 as it redirected shipments toward alternative markets like Japan. The research concludes that the tariff hostilities between these two powers have sparked complex trade and financial reverberations across the globe, highlighting the urgent need for market diversification and stronger multilateral cooperation to preserve economic stability.